Image of THE PARISH AS CONVENANT A CALL TO PASTORAL PARTNERSHIP - Paroki sebagai Perjanjian Undangan Berpastoral Bersama sebagai Mitra

Text

THE PARISH AS CONVENANT A CALL TO PASTORAL PARTNERSHIP - Paroki sebagai Perjanjian Undangan Berpastoral Bersama sebagai Mitra



"Aku akan mengadakan perjanjian damai dengan mereka, dan itu akan menjadi perjanjian yang kekul dengan mereka Aku akan memberkati mereka dan membuat mereka banyak dan memberikan tempat kudus-Ku di tengah-tengah mereka untuk selama-lamanya" -YEHEZKIEL 37:26
Gereja memang harus selalu hadir. Itulah yang dijanjikan. Setiap minggu di paroki-paroki yang tak terbilang jumlahnya di seluruh negeri umat berhimpun untuk bersyukur kepada Tuhan, merayakan Ekaristi, berbagi pengalaman iman, saling membantu, memahami nilai-nilai Injil, dan mengumpulkan kekuatan untuk menjadi pelayan dalam kehidupan sehari-hari. Dari apa yang saya alami sendiri dalam bekerja sama dengan paroki-paroki, maupun sebagai terbukti dari buku Excellent Catholic Parishes (Paroki-Paroki Katolik Unggul) karangan Paul Wilkes, banyaklah hal patut dipuji di dalam kehidupan paroki sehari-hari. Misalnya, anak anak belajar tentang iman mereka lewat pendidikan dalam keluarga, dan juga dalam katekese lewat bacaan-bacaan. Anak-anak belasan tahun antusias terhadap liturgi dan doa bersama berkat pengalaman kelompok anak-anak belasan tahun itu, yang pertama-tama dimulai oleh P. Dale Fushek di Paroki St. Timoteus di Mesa, Arizona. Dan sekarang juga dipakai di dalam pelbagai bentuk di banyak paroki di mana-mana. Kaum dewasa muda menjadi anggota-anggota aktif di paroki-paroki, di situ diadakan aneka usaha khusus guna mengajak mereka melibatkan diri dan menaruh perhatian mereka terhadap kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi khusus mereka. Orang-orang Katolik yang tak aktif dapat hidup dengan tenang di paroki-paroki di mana semua orang dapat datang, semua akan mendapat tempat, dan dipersilakan tinggal dengan krasan bersama kita semua. Ada orang-orang yang berpisah dalam perkawinannya, ada yang homoseksual baik laki-laki maupun perempuan, ada yang cacat tubuh, lanjut usia, kecewa, miskin, dan sendirian kesepian. Mereka telah menyampaikan keadaan mereka itu kepada masyarakat, dan mendapat perhatian dan tempat yang wajar di kalangan persekutuan Katolik di paroki. Semuanya itu memang patut dihargai. Dan patutlah dipuji semua orang yang bertanggung jawab atas inisiatif mereka itu.
Namun semua itu bukanlah gambaran keadaan utuh seluruhnya. Banyak paroki Katolik yang terikat oleh suatu sistem Gereja yang tak lancar. Imam-imam tersebar di mana-mana sehingga kehabisan tenaga dan mengalami frustrasi. Staf pastoral di paroki-paroki, juga termasuk yang berhasil dalam melaksanakan tugasnya, merasa makin tak sabar menghadapi suatu struktur Gereja yang menuntut kesetiaan dan ketaatan dari mereka, tetapi sekaligus tidak menyediakan kesempatan untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan. Para pemimpin paroki memang mencari kemampuan tenaga warga umat yang belum dimanfaatkan, dan mencari akal bagaimana dapat menghidupkan paroki. Banyak umat yang mengikuti Misa pada waktu pulang dari gereja merasa tak menerima inspirasi dan bekal hidup yang dibutuhkan. Sementara itu jumlah mereka yang telah tidak lagi menghadiri Misa terus bertambah. Dan mereka pergi makin jauh meninggalkan Gereja, dan anak-anak mereka ikut menjauhkan diri bersama mereka.
Memang ada kekecualian dan ada pula contoh-contoh yang positif, namun pada umumnya paroki Gereja Katolik membutuhkan revitalisasi, harus dihidupkan kembali, dan diberi daya kekuatan yang baru. Masalah pokok yang dihadapi ialah, bahwa cara penyusunan suatu paroki terlalu tergantung hanya pada satu pastor, sehingga efektivitasnya terbatas. Berbicara tentang "pastor" yang dimaksudkan di sini ialah pastor yang pria maupun perempuan. Sebab banyak paroki Katolik sekarang ini dipimpin dan diketuai oleh seseorang yang tidak tertahbis, namun berfungsi sebagai pastor pejabat. Arti dan penggunaan nama atau istilah "pastor" untuk posisi itu di keuskupan-keuskupan berlainan. Pada umumnya nama yang biasa dipakai ialah "administrator pastoral" (pastoral administrator), dan juga "pemimpin paroki" (parish director). Sementara itu pelayan sakramen, yakni imam yang tertahbis, datang di paroki untuk memimpin perayaan Ekaristi dan melayani sakramen sakramen. Apabila pastor itu, pria atau pun perempuan, bersemangat dan percaya atas kemampuannya, tidak takut diancam oleh keahlian dan wawasan orang-orang lain, mau memberikan kuasa kepada orang lain, dan mampu berbagi dalam mengambil keputusan, maka masa depan paroki itu penuh harapannya. Tetapi apabila si pastor berpindah ke suatu persekutuan umat atau paroki lain atau pun mendapat peranan yang lain dalam tata hidup Gereja, lalu apa yang harus dilakukan? Atau bagaimana nanti apabila pastor itu tak mau berbagi tanggung jawabnya dan sangat terbatas dalam visinya, padahal keadaan paroki sangat memprihatinkan?
Tesis yang ingin dikemukakan dalam buku ini ialah, bahwa untuk menjamin suatu masa depan paroki Katolik yang lebih produktif dan berhasil, dibutuhkan suatu perubahan sistem. Dewasa ini terlalu banyak hal sangat tergantung dari kreativitas, inisiatif dan keterampilan kepemimpinan pastor. Maka bab pertama buku ini akan menghidangkan suatu konfigurasi baru tentang kepemimpinan paroki, yang tidak terlalu tergantung dari satu pribadi saja. Bukan hanya satu orang yang menentukan apakah paroki itu akan tetap hidup dan berkembang, atau hanya tetap berada sekadar untuk melayani umat yang secara formal setia pergi ke gereja, tetapi tak mau mengambil risiko ikut mencari masa depan dengan kemungkinan-kemungkinan baru. Dalam suatu cerita tentang keterlibatan saya di paroki-paroki akan saya tunjukkan latar belakang dan konteks suatu bentuk paroki, yang saya usulkan dalam buku ini.

Mencari Sumber di Paroki
Tahun 1973 didirikan suatu Proyek Evaluasi Paroki (PEP). Tujuannya ialah menyediakan bagi para pastor, staf dan pemimpin paroki informasi yang akurat tentang sikap, kebutuhan, keinginan umat paroki, agar para pemimpin itu dapat membuat rencana yang baik untuk kehidupan paroki di masa depan. Kerapkali tujuan dan sasaran-sasaran yang disusun oleh pimpinan paroki tidak memperhitungkan pemikiran dan perasaan umatnya. Maka didirikanlah PEP untuk menyehatkan masalah itu.
Sambil berjalan PEP berkembang, mulai dengan penyelidikan dan kunjungan ke paroki-paroki selama sembilan bulan, dan diteruskan dengan keterlibatan dalam suatu periode lebih panjang selama lebih dari dua tahun. Tujuan awalnya yakni menyelidiki pendapat umat paroki tetap berjalan, tetapi ditambah dengan kunjungan-kunjungan pada akhir pekan setiap enam bulan. Kunjungan itu membantu pimpinan paroki untuk menanggapi kebutuhan umat, tetapi juga untuk menyampaikan hal-hal penting kepada mereka. Hal-hal penting itu ialah pengembangan staf, formasi dewan pastoral, pengerahan kaum sukarelawan, penanganan konflik, pendekatan umat yang tidak aktif dan sebagainya. Paroki-paroki mengadakan pembaruan pengalaman. Umat yang terjun aktif dan berbakat bersedia mengambil bagian dalam kepemimpinan. Para pastor dan staf bekerja sama. Namun apabila pastor diganti, proyek proyek menjadi lesu, struktur-struktur roboh, rencana-rencana tak diperhatikan lagi. Dengan pengalaman ini PEP memasuki inti masalahnya, yakni bagaimana kira-kira pergantian pastor paroki akan berhasil, apabila sebelumnya diselenggarakan proses persiapan selama satu tahun sebelum dipindahkan. Dengan bantuan Sr. Mary Benet McKinney, OSB berhasillah dibentuk suatu proses transisi bagi pastor sebelum dipindahkan. Cara proses ini diadakan di tiga paroki sebagai contoh. Pada bulan Januari, para pastor yang dalam bulan Juli berikutnya akan berpindah atau memasuki masa istirahat, berkumpul mengadakan pertemuan untuk membicarakan hal-hal bagaimana mengakhiri tugas pastoralnya dan mempersiapkan paroki dan diri mereka sendiri untuk menghadapi transisi yang akan mereka alami itu. Suatu tim transisi paroki yang terdiri dari staf, para pemimpin dan wakil umat berhimpun untuk menggembalakan paroki selama masa perubahan. Tim itu menyusun suatu gambaran tentang paroki yang akan diserahkan kepada calon-calon pastor guna membantu dalam pertimbangan dan keputusan mereka untuk ditugaskan di paroki yang bersangkutan. Maksudnya ialah agar diperoleh suatu kesepakatan antara pastor dan paroki, sehingga tradisi-tradisi paroki dan rencana-rencananya tidak dihentikan oleh kedatangan seorang pastor paroki baru. (Proses ini diuraikan secara terperinci dalam buku Changing Pastor[Pergantian Pastor], yang saya kerjakan bersama dengan Sr. Mary Benet McKinney, OSB).
Tujuan membuat pola proses transisi pastoral selama setahun itu ialah untuk mempengaruhi sistem keuskupan dalam hal penempatan atau perpindahan pastor, supaya baik pastor-pastor maupun paroki paroki tidak menjadi korban dari suatu keputusan, yang diambil tanpa memperhatikan sumbangan pikiran mereka. Patut diperhatikan bahwa dalam hal penggantian pastor, pastor adalah pusat kehidupan dan bergeraknya paroki. Pergantian pastor merupakan pergantian nada dan kepribadian bagi paroki sebagai keseluruhan. Hati, jiwa dan kepala paroki berubah bila ada pengangkatan pastor baru. Timbul pertanyaan: Apakah perubahan ini merupakan cara terbaik untuk bekerja? Apakah ada alternatif lain? Pada hemat kami ada! Buku ini saya beri nama "Paroki sebagai Perjanjian", sebab saya ingin menerangkan bahwa janji dan harapan akan suatu paroki sebagai persekutuan umat yang vital dan aktif tergantung dari suatu usaha bersama, suatu kebersamaan, suatu kemitraan, suatu kesepakatan timbal balik, suatu sistem yang di pusatnya ada lebih dari hanya satu orang, yakni bukan hanya satu pastor saja. Hal ini nanti akan dibahas lebih lanjut. Sementara ini kita meneruskan melihat dahulu suatu proses bagaimana dapat terbentuk suatu paroki sebagai perjanjian itu.

Penilaian dan Pembaruan Paroki
Sesuai dengan wawasan yang kita peroleh dari perhatian kita atas masalah transisi para pastor, kita dapat memperoleh suatu pandangan segar tentang bagaimana kita dapat bergerak menuju suatu pembaruan paroki. Apakah paroki-paroki berani menggali secara mendalam untuk menemukan nilai-nilai hakiki dan tujuan adanya suatu paroki? Apakah mereka merasa terdorong untuk melepaskan diri dari bentuk cetakan keadaan dirinya seperti sekarang ini, dan mau berpikir kreatif? Telah dilakukan kunjungan ke suatu paroki pada akhir pekan (weekend, Sabtu dan Minggu), enam bulan sekali. Tetapi ini tidak cukup untuk menyediakan waktu khusus yang dibutuhkan untuk mengadakan pembaruan. Kurang waktunya bagi PEP untuk mengadakan perubahan, dan harus dicarikan cara kerja lain untuk dikembangkan.
Tahun 1998 diadakan suatu model baru, yaitu Penilaian dan Pembaruan Paroki, disingkat PPP. Inti model ini ialah mengadakan kunjungan akhir pekan selama dua atau tiga minggu di paroki oleh dua orang anggota tim PEP. Selama dua minggu di paroki itu tim tersebut merasakan iklim dan budaya persekutuan umat paroki itu. Kunjungan yang lama itu didahului selama tiga bulan dengan pertemuan guna memperoleh informasi, termasuk penelitian sikap dan catatan banyak pertanyaan, yang dijawab oleh pemimpin paroki untuk menolong menemukan di mana letak kekuatan dan kelemahan setiap segi hidup paroki dan pelayanannya. Cara pendekatan baru untuk mengadakan perencanaan dan pembaruan ini sangat berhasil, bukan hanya untuk paroki-paroki yang bersangkutan, tetapi juga untuk pandangan dan wawasan serta perkembangan yang diperoleh oleh tim PEP sendiri, Dengan tinggal selama dua minggu di sebuah paroki, dan terlibat dalam kehidupan dan hal ikhwal rutinnya, sambil mengalami pergulatan, perjuangan dan keberhasilan pelayanan pastor, staf dan para pemimpin paroki itu, dapat menghasilkan suatu rasa dan pandangan yang lebih kena atas situasi paroki yang bersangkutan dalam sejumlah keadaan yang berbeda-beda. Dengan perspektif inilah saya hidangkan dalam buku ini pandangan, wawasan dan saran-saran saya.

Jumlah Imam Berkurang
Seperti dikatakan oleh Donald B. Cozzens dalam bukunya The Changing Face of the Priesthood (Wajah Imamat yang Berubah), paroki-paroki mengalami kesukaran karena imamat di Gereja Katolik mengalami krisis. Menurut pola sekarang ini pastor berada di pusat organisasi paroki. Maka segala sesuatu disalurkan melalui dia, baik datang dari Uskup, kantor-kantor keuskupan atau pimpinan paroki. Sejumlah kecil pastor mungkin dapat menangani situasi ini dengan bail Mereka menyerahkan pengambilan keputusan kepada anggota-anggota stat dan umat. Mereka mengadakan delegasi. Mereka ikut bertanggung jawab. Mereka memegang kontrol. Mereka mengadakan keseimbangan antara pelayanan mereka dan hidup pribadi mereka sendiri, sehingga tidak kecapaian dari tuntutan-tuntutan tugas mereka. Namun ini adalah suatu perutusan yang berat untuk dipertahankan, dan akibatnya sebagian terbesar dari para pastor kewalahan menghadapi tuntutan-tuntutan pelayanannya dan memenuhi keinginan umat. Pastor-pastor yang terkepung masalah itu menanggapinya melalui dua jalan. Yang pertama, dengan menanganinya seluruhnya sendirian, dengan bekerja berjam jam sehingga kehabisan tenaga dan karenanya berkurang hasilnya. Yang kedua, mereka mundur dan mulai mengubah cara kerjanya, yakni seolah-olah berpastoral dianggapnya sebagai sekadar melakukan pekerjaan (job), dan bukan sebagai melaksanakan pelayanan. Hubungan dan kerjasama dengan umat dibatasi. Mereka hanya melaksanakan yang minimal. Ini bukan kesalahan mereka. Melainkan suatu jalan atau cara kerja suatu sistem. Atau suatu sistem yang tak berjalan, macet. Apabila pastor adalah satu-satunya kepala dan otoritas penentu terakhir, maka sistem yang berlaku itu mengekang gerak paroki, dan bukan membuat para pastor dan umatnya merasa lega dan bebas mengalami sesuatu yang suci.
Gereja Katolik, terutama di Amerika Serikat, kini berada di tengah masa transisi yang mendalam. Jumlah imam untuk melayani Umat Allah tidak cukup. Sebelum ada perubahan syarat-syarat yang dituntut untuk ditahbiskan menjadi imam, situasi ini akan makin buruk. Paroki-paroki akan makin luas dan bertambah, tetapi hanya dilayani oleh satu imam. Dorongan untuk menyatukan dan menggabungkan paroki-paroki terus bertambah, dan kenyataan itu menyedihkan hati umat, sebab mereka ingin tetap bertahan di tempat ibadat mereka sendiri saja, tidak digabungkan, dan lebih suka berada di tengah kelompok persekutuan paroki mereka sendiri saja. Makin banyak paroki yang harus dikurangi frekuensi perayaan Ekaristinya. Bentuk Ibadat makin banyak hanya berupa pelayanan komuni. Pelayan atau administrator pastoral yang tak tertahbislah akan melayani umat sebagai pastor. Mengapa demikian keadaannya? Apakah sebenarnya yang dikatakan Roh Allah kepada kita tentang hal ini?
Apakah barangkali kita belum siap menghadapi perubahan tuntutan-tuntutan untuk imamat? Rupanya kita harus belajar lebih banyak lagi. Masih terlalu banyak lagi hal-hal yang tergantung dari imam yang hanya satu orang saja. Padahal dibutuhkan kesediaan untuk saling berbagi atau dikerjakan bersama. Berpastoral adalah suatu usaha bersama. Paroki adalah suatu perjanjian, bukan suatu kerajaan.


Ketersediaan

Tidak ada salinan data


Informasi Detil

Judul Seri
-
No. Panggil
-
Penerbit DIOMA : Malang.,
Deskripsi Fisik
-
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
979-3500-79-4
Klasifikasi
NONE
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this